AKSARA DAN JEJAK PERADABAN LITERASI ISLAM
Jejak Nurani Ustadz Agus Sutisna
Aksara: Gerbang Wahyu dan Peradaban
Dalam Islam, aksara (sistem huruf/tulisan) bukan sekadar alat komunikasi, melainkan pintu masuk menuju wahyu. Ketika Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu pertama di Gua Hira, kata yang pertama kali turun adalah “Iqra’”, bacalah. Perintah ini sejatinya bukan hanya ajakan membaca, tapi juga menghidupkan aksara sebagai medium ilahiah. Aksara menjadi saksi pertemuan antara langit dan bumi.
Al-Qur’an sendiri disebut sebagai kitab, yaitu sesuatu yang tertulis. Wahyu tidak hanya dihafal, tetapi juga ditulis, dikodifikasi, dan disebarkan. Para sahabat seperti Zaid bin Tsabit menjadi penulis wahyu, dan proses kodifikasi mushaf di masa Abu Bakar dan Utsman menunjukkan betapa pentingnya aksara dalam menjaga kemurnian wahyu (Al-Azami, 2003).
Dalam tradisi Islam, aksara Arab berkembang bukan hanya sebagai sistem tulisan, tetapi juga sebagai seni dan spiritualitas. Kaligrafi menjadi bentuk ekspresi keindahan wahyu, karena larangan menggambar makhluk hidup mendorong estetika huruf menjadi pusat seni. Huruf-huruf Arab tidak hanya dibaca, tetapi juga direnungkan dan dimuliakan.
Aksara menjadi sakral karena ia membawa makna. Dalam ilmu tafsir, satu huruf bisa mengandung hukum, hikmah, dan perbedaan pendapat. Dalam ilmu tajwid, cara melafalkan huruf menjadi bagian dari ibadah. Maka, aksara dalam Islam bukan benda mati, aksara adalah “makhluk hidup” yang bergerak dalam jiwa umatnya.
Literasi Islam dimulai dari aksara. Ia menjadi fondasi peradaban yang melahirkan ribuan kitab, perpustakaan, dan tradisi keilmuan yang melintasi zaman. Dari Baghdad hingga Cordoba, dari Al-Azhar hingga pesantren Nusantara. Aksara menjadi ruh yang menghidupkan ilmu.
Dari Mushaf ke Manuskrip
Sejak masa awal Islam, tradisi tulis berkembang pesat. Mushaf Al-Qur’an menjadi pusat perhatian, namun tidak berhenti di sana. Para ulama mulai menulis tafsir, hadis, fiqh, dan berbagai cabang ilmu dengan disiplin yang tinggi. Aksara menjadi medium kodifikasi ilmu dan penyebaran hikmah.
Di dunia Islam klasik, perpustakaan menjadi simbol kemajuan. Bayt al-Hikmah di Baghdad, Dar al-Ilm di Kairo, dan perpustakaan Cordoba menyimpan ribuan manuskrip dalam berbagai bahasa dan aksara. Bahasa Arab menjadi lingua franca ilmu pengetahuan bersama aksara-aksara Persia, Ibrani, dan Yunani yang hidup berdampingan (Gutas, 2001).
Tradisi tulis ini melahirkan genre literasi yang khas: risalah, syarh, hasyiyah, dan ta’liq. Setiap kitab memiliki struktur, gaya, dan sistem kutipan yang terjaga. Ulama tidak hanya menulis, tetapi juga mengomentari, menyanggah, dan memperluas gagasan. Aksara menjadi ruang dialog intelektual yang melampaui generasi.
Di Nusantara, tradisi tulis Islam berkembang melalui pesantren, surau, dan istana. Kitab kuning menjadi medium utama, ditulis dalam aksara Arab dengan bahasa lokal seperti Jawa, Sunda, atau Melayu. Aksara Jawi, misalnya, menjadi bukti bahwa Islam tidak mematikan budaya lokal, tetapi menyerap dan menghidupkannya (Azra, 2004).
Manuskrip Islam Nusantara menyimpan kekayaan luar biasa. Dari tafsir lokal hingga syair sufistik, dari hukum adat hingga ilmu falak, semua ditulis dengan aksara yang penuh makna. Ketika kita membuka lembaran manuskrip tua, kita sedang menyentuh denyut nadi peradaban yang pernah hidup.
Medium Dakwah dan Pendidikan
Dalam Islam, dakwah bukan hanya lisan, tetapi juga tulisan. Para ulama menulis untuk menyampaikan risalah, menjawab pertanyaan umat, dan membimbing generasi. Aksara menjadi senjata dakwah yang tajam namun lembut, menyentuh akal dan hati sekaligus.
Di pesantren, tradisi tulis menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan. Santri belajar membaca kitab, menyalin teks, dan menulis syarah. Proses ini bukan hanya akademik, tetapi juga spiritual. Menulis menjadi bentuk riyadhah, latihan jiwa dan akhlak.
Aksara juga menjadi medium pembentukan karakter. Dalam menulis, santri belajar tertib, teliti, dan jujur. Mereka belajar menghargai ilmu, menghormati guru, dan menjaga sanad keilmuan. Aksara bukan hanya huruf, tetapi juga adab.
Dalam sejarah dakwah Islam di Nusantara, aksara lokal digunakan untuk menyampaikan ajaran. Aksara Jawi, Pegon, dan Arab-Melayu menjadi jembatan antara Islam dan budaya lokal. Ini menunjukkan bahwa dakwah tidak harus menghapus tradisi, tetapi bisa menyatu dan memperkaya.
Ketika aksara digunakan untuk mendidik, ia menjadi cahaya. Aksara membuka pikiran, menumbuhkan rasa ingin tahu, dan membentuk generasi yang berilmu dan beradab. Literasi Islam bukan hanya soal membaca, tetapi juga soal menjadi manusia yang utuh.
Tantangan dan Peluang Literasi Islam di Era Digital
Di era digital, literasi Islam menghadapi tantangan baru. Aksara Arab masih hidup, tetapi sering kali terpinggirkan oleh aksara Latin dan gaya komunikasi instan. Kitab kuning mulai tergeser oleh konten daring, dan tradisi tulis perlahan digantikan oleh video dan suara.
Namun, teknologi sesungguhnya juga membuka peluang. Digitalisasi manuskrip, pengembangan font Arab, dan aplikasi pembelajaran bisa menghidupkan kembali tradisi aksara Islam. Yang dibutuhkan adalah kesadaran kolektif. Literasi Islam harus dikembangkan dengan pendekatan yang kontekstual dan kreatif. Aksara Arab bisa tampil dalam desain grafis, kaligrafi digital, dan media sosial. Kitab kuning bisa dikemas ulang dalam bentuk e-book, podcast, atau video interaktif.
Penting juga untuk menjaga kedalaman. Literasi Islam bukan hanya soal akses, tetapi juga kualitas. Santri dan guru perlu dilatih untuk menulis dengan baik, membaca dengan kritis, dan memahami teks secara mendalam. Aksara harus menjadi alat pembebasan, bukan sekadar formalitas.
Di tengah banjir informasi, aksara Islam bisa menjadi jangkar. Aksara mengingatkan kita pada nilai, makna, dan adab. Ia mengajak kita untuk tidak sekadar cepat, tetapi juga dalam. Literasi Islam harus menjadi gerakan yang menyentuh akal, hati, dan ruh.
Menjaga Masa Lalu, Menyulam Masa Depan
Untuk merawat dan menghidupkan aksara dalam tradisi literasi Islam, perlu langkah-langkah konkret. Pertama, pendidikan aksara Arab harus diperkuat sejak dini. Bukan hanya dalam konteks membaca Al-Qur’an, tetapi juga dalam menulis, memahami gramatika, dan mengkaji teks klasik.
Kedua, pesantren dan lembaga pendidikan Islam perlu mendorong budaya menulis. Santri tidak hanya membaca kitab, tetapi juga menulis refleksi, artikel, dan karya ilmiah. Ini akan melahirkan generasi ulama yang tidak hanya fasih berbicara, tetapi juga tajam dalam menulis.
Ketiga, digitalisasi manuskrip dan kitab klasik harus dipercepat. Banyak karya ulama Nusantara yang masih tersimpan di perpustakaan atau koleksi pribadi. Dengan teknologi, karya-karya ini bisa diakses, dikaji, dan diwariskan kepada generasi baru.
Keempat, kolaborasi antara pesantren, akademisi, dan komunitas digital perlu diperkuat. Literasi Islam tidak bisa berjalan sendiri. Ia membutuhkan ekosistem yang mendukung, dari penerbitan hingga pelatihan, dari riset hingga distribusi.
Kelima, aksara lokal yang pernah menjadi medium dakwah Islam perlu dihidupkan kembali. Aksara Jawi, Pegon, dan Arab-Melayu bisa diajarkan sebagai bagian dari sejarah dan kebudayaan Islam Nusantara. Ini bukan nostalgia, tetapi strategi kebudayaan.
Dengan merawat aksara, literasi Islam akan tumbuh. Ia akan menjadi gerakan yang tidak hanya menjaga masa lalu, tetapi juga menyulam masa depan. Ia akan melahirkan generasi yang berilmu, beradab, dan berdaya.
Amanah Peradaban
Aksara adalah amanah. Ia diturunkan bersama wahyu, dijaga oleh para ulama, dan diwariskan kepada kita. Menjaga aksara berarti menjaga ilmu, menjaga adab, dan menjaga jejak peradaban yang telah dibangun dengan darah dan tinta.
Di pesantren, aksara bukan sekadar huruf, tetapi warisan. Aksara menghubungkan kita dengan para mujtahid, mufassir, dan sufi yang menulis dengan hati dan jiwa. Aksara mengingatkan kita bahwa ilmu bukan hanya untuk diketahui, tetapi untuk diamalkan dan diwariskan.
Maka pada saat para Kyai, Ustadz dan Ustadzah serta para Santri menulis, membaca, muthola’ah, muroja’ah, serta mengajarkan dan belajar aksara, sesungguhnya mereka sedang melanjutkan estafeta peradaban. Mereka sedang menyulam masa depan dengan benang-benang hikmah yang telah ditenun oleh generasi sebelumnya. Aksara adalah cahaya. Dan tugas kita adalah menjaganya agar tetap menyala.