Kelahiran Sang Cahaya: Rabiul Awal dan Makna Maulid
Jejak Nurani Ustadz Agus Sutisna
Di antara waktu-waktu yang Allah muliakan, bulan Rabiul Awal memiliki keistimewaan yang tak tertandingi: ia menjadi saksi kelahiran manusia paling agung, Nabi Muhammad ﷺ. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Muhammad ibn ‘Alawi al-Maliki dalam adz-Dzakhā’ir al-Muḥammadiyyah, bukan waktu yang memuliakan Nabi, melainkan Nabi-lah yang memuliakan waktu:
وإنما كان مولده في شهر ربيع على الصحيح، لأن الزمان تشرف بوجوده فيه
“Sesungguhnya kelahiran Nabi berada di bulan Rabi‘ (awal) menurut pendapat yang shahih, karena waktu menjadi mulia sebab Nabi Muhammad hadir di dalamnya.”
Kelahiran beliau bukan sekadar peristiwa biologis, melainkan awal dari revolusi spiritual dan sosial yang mengubah wajah dunia. Dalam artikel ini, kita akan menelusuri makna kelahiran Nabi ﷺ dari sudut pandang wahyu, sejarah, dan resonansi budaya Nusantara.
Cahaya yang Menyinari Kegelapan
Nabi Muhammad ﷺ lahir pada hari Senin, 12 Rabiul Awal tahun Gajah, bertepatan dengan 570 M. Dalam riwayat Muslim, beliau bersabda:
ذَٰلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ، وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ
“Itulah hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus atau diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Muslim no. 1162)
Kelahiran beliau terjadi di tengah masyarakat jahiliyah yang diliputi kegelapan spiritual, penindasan sosial, dan krisis moral. Dalam Surah Al-Ahzab, Allah menyebut Nabi sebagai pelita penerang:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا
“Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa kabar gembira, pemberi peringatan, dan penyeru kepada Allah dengan izin-Nya serta sebagai pelita yang menerangi.” (QS. Al-Aḥzāb: 45–46)
Orientalis Inggris, Montgomery Watt, dalam Muhammad: Prophet and Statesman, menyebut kelahiran Nabi sebagai “the emergence of a moral genius” yang membawa transformasi etika dan spiritual paling signifikan dalam sejarah manusia.
Maulid sebagai Ruang Syukur dan Cinta
Tradisi memperingati Maulid Nabi telah hidup dalam khazanah Islam sejak abad ke-4 Hijriyah, dan berkembang luas di dunia Islam, termasuk Nusantara. Dalam pandangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, perayaan Maulid termasuk bentuk syukur atas nikmat terbesar: diutusnya Rasulullah ﷺ.
من أعظم النعم على هذه الأمة ظهور النبي ﷺ، ومن أعظم القربات إظهار الفرح بمولده
“Di antara nikmat terbesar bagi umat ini adalah munculnya Nabi ﷺ, dan di antara ibadah paling agung adalah menampakkan kegembiraan atas kelahirannya.” (Husn al-Maqṣid fī ‘Amal al-Maulid)
Di pesantren-pesantren Nusantara, Maulid bukan sekadar seremoni, tapi ruang spiritual yang menghidupkan cinta, adab, dan teladan Rasulullah ﷺ. Kitab Barzanji, Simṭud-Durar, dan Diba’ menjadi media syair dan dzikir yang menyentuh hati santri dan masyarakat.
Kelahiran yang Dikelilingi Tanda-Tanda Langit
Riwayat-riwayat klasik menyebutkan bahwa saat Nabi ﷺ lahir, banyak tanda langit dan bumi yang muncul. Di antaranya: Padamnya api suci Majusi yang telah menyala selama seribu tahun; Runtuhnya empat belas balkon istana Kisra Persia, pertanda keruntuhan tirani; dan Mimpi ibunda Aminah yang melihat cahaya keluar dari dirinya menerangi istana-istana Syam.
Riwayat ini, meski tidak semuanya sahih secara sanad, menunjukkan bagaimana umat Islam memaknai kelahiran Nabi sebagai peristiwa kosmik yang membawa perubahan besar. Dalam Surah Al-Furqan, Allah menyebut Nabi sebagai pembeda antara kebenaran dan kebatilan:
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Maha Suci Allah yang menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya agar menjadi peringatan bagi seluruh alam.” (QS. Al-Furqān: 1)
Karen Armstrong, dalam Muhammad: A Biography of the Prophet, menyebut kelahiran Nabi sebagai “a moment of rupture” yang mengubah struktur spiritual dan sosial dunia Arab.
Resonansi Maulid di Nusantara
Di Indonesia, Maulid menjadi bagian dari tradisi budaya dan spiritual yang kaya. Di Banten, Cirebon, dan Aceh, perayaan Maulid diiringi dengan zikir, syair, dan sedekah. Di pesantren Nurul Madany, perayaan Maulid Nabi menjadi momentum untuk terus menghidupkan kecintaan kepada beliau, memperkuat sanad keilmuan dan adab santri.
Tradisi Maulid Simṭud-Durar karya Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi dibacakan dengan penuh khidmat, diiringi rebana dan shalawat. Ini bukan sekadar nostalgia, tapi cara menghidupkan ruh cinta kepada Rasulullah ﷺ.
Dalam pandangan Prof. Azyumardi Azra, Maulid di Indonesia menunjukkan “Islam yang berakar pada budaya lokal, namun tetap menjaga substansi spiritual dan teologisnya.”
Refleksi: Apa Makna Maulid bagi Kita?
Maulid bukan sekadar mengenang kelahiran Nabi, tapi menghidupkan kembali nilai-nilai beliau dalam kehidupan kita. Di tengah krisis moral, polarisasi sosial, dan kegaduhan digital, kita butuh teladan Rasulullah ﷺ yang penuh kasih, hikmah, dan keberanian.
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Kita bisa mulai dari hal-hal kecil, misalnya memperbaiki adab bicara, menjaga amanah, menebar kasih sayang, dan membangun ruang kajian yang beradab. Sebagaimana Nabi ﷺ membangun peradaban dari hati, bukan dari kekuasaan.
Menyambut Maulid dengan Ruh Cinta
Kelahiran Nabi Muhammad ﷺ adalah anugerah terbesar bagi umat manusia. Ia bukan hanya pembawa wahyu, tapi pembawa cinta, cahaya, dan harapan. Dalam bulan Maulid ini, mari kita hidupkan kembali ruh beliau dalam diri, keluarga, dan masyarakat.
Sebagaimana ungkapan Imam al-Busiri dalam Qaṣidah al-Burdah:
مُحَمَّدٌ سَيِّدُ الْكَوْنَيْنِ وَالثَّقَلَيْنِ
“Muhammad adalah pemimpin dua alam dan dua jenis makhluk (manusia dan jin).”
Semoga artikel ini menjadi awal dari serial reflektif yang menghidupkan cinta dan teladan Rasulullah ﷺ dalam ruang kajian kita.