
Maulid Nabi dan Teladan Kepemimpinan Profetik
Jejak Nurani Ustadz Agus Sutisna
Bulan Maulid bukan sekadar momentum mengenang kelahiran Nabi Muhammad ﷺ, tetapi ruang spiritual untuk merenungi jejak kepemimpinan beliau yang profetik—berakar pada wahyu, bernafas dengan adab, dan berbuah keadilan. Di tengah krisis kepemimpinan global dan kegaduhan politik lokal, umat Islam diajak kembali menelusuri model kepemimpinan Rasulullah ﷺ yang tidak hanya berhasil membangun negara, tetapi juga membentuk manusia.
Dalam Surah Al-Ahzab, Allah menegaskan:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh, telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Aḥzāb: 21)
Ayat ini bukan hanya seruan untuk meneladani akhlak beliau, tetapi juga menghidupkan prinsip-prinsip kepemimpinan profetik dalam kehidupan sosial dan politik umat.
Kepemimpinan yang Berakar pada Wahyu
Kepemimpinan Nabi ﷺ bukan hasil kalkulasi politik, melainkan amanah kenabian yang dibimbing langsung oleh wahyu. Dalam Surah Ash-Shūrā, Allah berfirman:
وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ
“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Ash-Shūrā: 38)
Nabi ﷺ membangun sistem pemerintahan di Madinah dengan prinsip syura, keadilan, dan perlindungan terhadap semua golongan, termasuk non-Muslim. Piagam Madinah menjadi bukti bahwa beliau bukan hanya pemimpin umat Islam, tetapi pemimpin masyarakat plural yang menjunjung hak dan tanggung jawab bersama.
Karen Armstrong menyebut Nabi sebagai “the archetype of ethical leadership”—model kepemimpinan etis yang menggabungkan spiritualitas dan kebijakan publik secara harmonis.
Adab Sebagai Fondasi Kekuasaan
Berbeda dengan model kekuasaan yang dibangun atas dominasi, kepemimpinan Nabi ﷺ berakar pada adab. Beliau tidak pernah memaksakan kehendak, tidak membalas kebencian dengan kebencian, dan selalu mendahulukan kelembutan dalam menghadapi konflik.
Dalam riwayat Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
“Ya Allah, siapa pun yang memimpin urusan umatku lalu menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Dan siapa pun yang memimpin urusan umatku lalu bersikap lembut kepada mereka, maka lembutkanlah ia.” (HR. Muslim no. 1828)
Hadits ini menunjukkan bahwa ukuran kepemimpinan bukan kekuatan, tetapi kelembutan dan keberpihakan kepada rakyat. Dalam konteks kontemporer, ini menjadi kritik terhadap model birokrasi yang kaku dan elite politik yang jauh dari nurani publik.
Kepemimpinan yang Membentuk Manusia
Nabi ﷺ tidak hanya membangun negara, tetapi membentuk manusia. Beliau mendidik sahabat menjadi pemimpin yang jujur, adil, dan beradab. Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Mu’adz bin Jabal adalah contoh bagaimana kepemimpinan profetik melahirkan generasi yang mampu mengelola kekuasaan dengan ruh spiritual.
Dalam Surah Al-Qalam, Allah menyebut akhlak Nabi sebagai puncak kemuliaan:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Michael H. Hart, dalam The 100 A Ranking of the Most Influential Persons in History menempatkan Nabi Muhammad ﷺ sebagai tokoh paling berpengaruh dalam sejarah karena keberhasilannya membangun sistem sosial dan spiritual yang bertahan hingga hari ini.
Maulid sebagai Ruang Pendidikan Kepemimpinan
Di pesantren-pesantren Nusantara, Maulid bukan hanya seremoni, tetapi ruang pendidikan kepemimpinan. Syair-syair Maulid seperti Simṭud-Durar dan Barzanji bukan sekadar pujian, tetapi pelajaran tentang adab, keberanian, dan tanggung jawab.
Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi menulis:
وَصَفَتْهُ الْكُتُبُ الْمُنَزَّلَةُ بِأَكْمَلِ الْأَوْصَافِ وَأَشْرَفِ الْأَخْلَاقِ
“Kitab-kitab samawi memujinya dengan sifat-sifat paling sempurna dan akhlak paling mulia.”
Tradisi Maulid di berbagai daerah di Nusantara sering diiringi dengan kajian tentang kepemimpinan Nabi ﷺ. Bukan hanya sebagai sejarah, tetapi juga sebagai inspirasi untuk membangun masyarakat yang beradab dan berkeadilan.
Kepemimpinan yang Kita Rindukan
Di tengah krisis kepemimpinan yang ditandai oleh korupsi, manipulasi, dan hilangnya adab publik, umat Islam merindukan model kepemimpinan profetik: yang jujur, adil, lembut, dan bertanggung jawab. Maulid menjadi momentum untuk menghidupkan kembali teladan ini, bukan hanya dalam wacana, tetapi dalam praksis sosial.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiyā’: 107)
Kepemimpinan Nabi Muhammad ﷺ adalah warisan profetik yang harus dijaga dan dihidupkan. Dalam bulan Maulid ini, mari kita jadikan ruang kajian, pesantren, dan komunitas sebagai ladang pendidikan kepemimpinan yang berakar pada wahyu dan bernafas dengan adab.