Mengapa Konflik Arab–Israel Sulit Dihentikan?
Jejak Nurani Ustadz Agus Sutisna
Beberapa hari lalu (tepatnya Kamis subuh, 11 September 2025), kilatan cahaya yang diduga sebuah Rudal melintas di langit kota Madinah, meledak dan memicu kepanikan jama’ah solat Subuh di masjid yang dimuliakan itu. Hingga artikel ini saya tulis, pemerintah Arab Saudi belum memberikan keterangan resmi terkait rudal ini. Namun spekulasi yang berkembang, Rudal itu diluncurkan Yaman menuju Israel tetapi kemudian dicegah oleh sistem pertahanan udara Saudi Arabia. Spekulasi sebaliknya juga berkembang, bahwa itu adalah rudal Israel yang dicegah Arab Saudi.
Terlepas dari spekulasi mana yang paling akurat, yang pasti bahwa rudal yang melintasi kota suci kedua umat Islam adalah dampak dari konflik yang terjadi antara Palestina-Israel yang sukar sekali dihentikan. Jejak Nurani kali ini, berseri beberapa artikel, akan mengulas persoalan konflik berkepanjangan antara dunia Arab versus Israel. Saya akan mulai dengan pertanyaan sebagaimana judul artikel seri pertama ini : Mengapa konflik Arab-Israel sulit dihentikan ?
Akar Sejarah, Klaim Identitas dan Teologi
Konflik Arab (Palestina) – Israel bukan sekadar sengketa wilayah, melainkan pusaran sejarah, identitas, dan kepentingan global yang saling bertabrakan. Sejak berdirinya negara Israel pada 1948, konflik ini telah menelan ratusan ribu korban jiwa, memicu perang regional, dan melahirkan krisis kemanusiaan yang mengerikan dan berkepanjangan.
Konflik ini berakar pada klaim sejarah dan agama yang saling bertentangan. Bangsa Yahudi meyakini bahwa tanah Palestina adalah “Tanah Perjanjian” yang dijanjikan Tuhan kepada mereka. Klaim ini diperkuat oleh Deklarasi Balfour 1917, di mana Inggris mendukung pendirian “national home” bagi Yahudi di Palestina.
Di sisi lain, bangsa Palestina telah mendiami wilayah tersebut selama ribuan tahun. Ketika Islam datang, wilayah ini menjadi bagian penting dari peradaban Islam, dengan Masjid Al-Aqsha sebagai kiblat pertama dan tempat Isra’ Mi’raj Rasulullah ﷺ sebagaimana firman Allah.
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjid Al-Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya.” (QS. Al-Isrā’: 1)
Namun, resistensi Yahudi terhadap Islam bukan hanya soal tanah, melainkan juga penolakan mereka terhadap jalan hidup (ajaran) yang dibawa oleh Kangejng Nabi Muhammad. Seperti diingatkan dalam Al-Qur’an :
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu hingga engkau mengikuti jalan mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 120)
Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa penolakan terhadap Islam bersifat ideologis dan transhistoris. Maka, konflik ini bukan sekadar politik, tetapi benturan nilai, teologis dan jalan hidup ideologis.
Pelanggaran Hukum Internasional dan Lemahnya Solidaritas Arab
Fakto kedua mengapa konflik sukar dihentikan karena Israel secara terang-terangan, illegal dan kurang ajar terus membangun permukiman di wilayah Palestina, dan ini adalah melanggar resolusi PBB dan hukum internasional. Blokade Gaza, pengusiran warga, dan serangan militer ke wilayah sipil menjadi rutinitas bangsa Yahudi yang tak tersentuh oleh sanksi global. Ketika hukum internasional tak ditegakkan, maka konflik menjadi lingkaran kekerasan yang terus berulang.
Dalam situasi demikian, negara-negara Arab tampak pasif dalam merespons agresi Israel. Beberapa negara seperti Mesir, Yordania, dan UEA telah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, sementara negara lain memilih diam atau hanya mengecam secara simbolik.
Muhittin Ataman, profesor hubungan internasional dari Universitas Ankara, menyebut bahwa sejak Arab Spring 2011, identitas nasional lebih dominan daripada solidaritas pan-Islam atau pan-Arab. Banyak elite Arab lebih fokus pada stabilitas dalam negeri dan hubungan ekonomi dengan Barat daripada membela Palestina secara aktif.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu.” (QS. Al-Ḥujurāt: 10). Bangsa-bangsa Arab seperti lupa dengan ayat ini, yang seharusnya menjadi rujukan moral dan teolgis bahwa umat Islam mestinya bersatu dan solid membantu perjuangan rakyat Palestina menghadapi kedzoliman Yahudi-Israel. Bukan malah terfragmentasi karena perbedaan kepentingan global.
Kepentingan Global dan Tekanan Barat
Dalam lanskap konflik Palestina-Israel dan terbelahnya negara-negara Arab, Amerika Serikat dan sekutunya terus mendukung Israel secara militer, diplomatik, dan ekonomi. Veto AS di Dewan Keamanan PBB sering kali menggagalkan resolusi yang mengutuk agresi Israel. Negara-negara Arab pun berada dalam tekanan politik dan ekonomi dari Barat. Inilah faktor ketiga mengapa konflik ini sulit dihentikan.
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
“Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang zalim, nanti kamu akan disentuh api neraka.” (QS. Hūd: 113). Bangsa-bangsa Arab seperti lupa dengan seruan Allah dalam ayat ini. Ketika kepentingan ekonomi dan diplomasi lebih dominan daripada nurani kemanusiaan, maka konflik menjadi alat politik, bukan isu kemanusiaan.
Refleksi: Dari Retorika ke Gerakan Nyata
Konflik Arab–Israel sulit dihentikan karena ia bukan hanya soal politik, tetapi soal nilai, ideologi, sejarah, dan keberpihakan global. Namun di tengah kompleksitas itu, umat Islam tidak boleh kehilangan arah. Kita harus membangun solidaritas yang berakar pada ilmu, adab kemanusiaan, dan keberanian menyuarakan kebenaran.
Dalam konteks ini umat Islam, khususnya bangsa-bangsa Arab mestinya selalu mengingat sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ لَمْ يَهْتَمَّ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa tidak peduli terhadap urusan kaum Muslimin, maka ia bukan bagian dari mereka.” (HR. Thabrani).
Akhir kalam, konflik Arab–Israel mungkin sulit dihentikan secara politik, tetapi bisa dilawan secara moral dan spiritual. Dalam hal ini komunitas umat harus menjadi benteng kesadaran yang harus terus menyuarakan keadilan, membela yang tertindas, dan membangun narasi yang beradab, selain tentu saja menyerukan persatuan dan soliditas umat Islam dalam menghadapi hegemoni Barat yang terus saja membela kepentingan Yahudi-Israel.