Pesan Al-Qur’an & Hadits tentang Korupsi
Jejak Nurani Ustadz Agus Sutisna
Dalam lanskap sosial yang semakin keruh oleh praktik manipulasi dan pengkhianatan amanah, korupsi bukan sekadar pelanggaran administratif. Ia adalah bentuk kehancuran adab, pengkhianatan terhadap ruh keadilan, dan perusakan terhadap tatanan yang Allah titahkan untuk dijaga. Islam, sejak wahyu pertama turun, telah menegaskan bahwa harta bukan sekadar benda, melainkan amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran.
Peringatan Al Quran
Al-Qur’an membuka peringatan keras terhadap praktik korupsi dalam berbagai bentuknya. Dalam surah al-Baqarah, Allah berfirman:
وَلَا تَأۡكُلُوا۟ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُوا۟ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]:188)
Ayat ini menegaskan bahwa korupsi bukan hanya soal mencuri, tetapi juga soal memanipulasi sistem hukum demi keuntungan pribadi. Ketika harta dijadikan alat untuk mempengaruhi keputusan hakim, maka keadilan telah dikorbankan demi kepentingan sesaat. Dalam konteks kontemporer, ayat ini relevan dengan praktik suap, gratifikasi, dan intervensi hukum oleh elite yang merusak sendi kepercayaan publik.
Dalam surah Āli ‘Imrān, Allah menyingkap dimensi spiritual dari penggelapan harta:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ
“Tidak layak bagi seorang nabi berkhianat dalam urusan harta. Barangsiapa berkhianat, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya.” (QS. Āli ‘Imrān [3]:161)
Kata ghulul dalam ayat ini merujuk pada penggelapan harta amanah. Ayat ini tidak hanya menegaskan kesucian kepemimpinan Nabi, tetapi juga memberi peringatan bahwa setiap pengkhianatan terhadap amanah akan dibongkar di akhirat. Pelaku korupsi akan datang membawa bukti kejahatannya sendiri, menjadi saksi atas kehinaan dirinya. Ini adalah ancaman eksistensial yang menegaskan bahwa korupsi bukan hanya kejahatan sosial, tapi juga dosa spiritual yang akan diadili secara langsung oleh Allah.
Peringatan Rasulullah
Rasulullah ﷺ pun menegaskan dalam sabdanya:
مَن غَلَّ فَلْيَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa melakukan penggelapan, maka hendaklah ia datang membawa hasil penggelapannya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari & Muslim)
Hadits ini memperkuat pesan ayat sebelumnya. Korupsi bukanlah sesuatu yang bisa disembunyikan selamanya. Di akhirat, pelaku akan membawa hasil korupsinya sebagai beban dan bukti. Ini adalah gambaran yang sangat kuat: bahwa harta yang diperoleh secara haram akan menjadi saksi yang memberatkan, bukan aset yang menyelamatkan. Dalam tradisi Islam, harta bukan hanya soal kepemilikan, tapi soal pertanggungjawaban.
Bahkan dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ menyatakan:
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah.” (HR. Ahmad)
Hadits ini menegaskan bahwa amanah adalah syarat keimanan. Korupsi, sebagai bentuk pengkhianatan terhadap amanah, berarti mencederai inti dari iman itu sendiri. Dalam konteks kepemimpinan, birokrasi, dan pelayanan publik, hadits ini menjadi pengingat bahwa integritas bukan sekadar etika kerja, tapi bagian dari akidah. Seorang pemimpin atau pejabat yang korup, sejatinya telah kehilangan ruh keimanan yang menjadi fondasi tanggung jawabnya.
Dalam surah al-Mā’idah, Allah menyebut para pemakan harta haram sebagai:
سَمَّٰعُونَ لِلۡكَذِبِ أَكَّٰلُونَ لِلسُّحۡت
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram…” (QS. al-Mā’idah [5]:42)
Kata suḥt dalam ayat ini merujuk pada harta yang diperoleh melalui cara haram—suap, manipulasi, dan korupsi. Ayat ini mengontraskan dua karakter: pelaku korupsi yang hidup dalam kebohongan dan kerakusan, serta sosok yang dicintai Allah, yaitu mereka yang berlaku adil. Dalam masyarakat yang adil, harta tidak menjadi alat untuk menindas, tetapi menjadi sarana untuk menegakkan kemaslahatan. Ayat ini mengajak kita untuk memilih: menjadi bagian dari sistem yang rusak, atau menjadi pembela keadilan yang dicintai oleh Allah.
Refleksi
Korupsi dalam perspektif Islam bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap amanah, keimanan, dan adab publik. Ia merusak tatanan sosial, mencederai kepercayaan umat, dan mengundang murka Allah. Ayat-ayat dan hadits yang telah dikaji menunjukkan bahwa korupsi adalah dosa yang akan dibongkar di akhirat, dan pelakunya akan membawa beban kejahatannya sendiri.
Di tengah arus pragmatisme dan normalisasi korupsi, kita diajak untuk kembali pada nilai-nilai wahyu. Bahwa kejujuran bukan sekadar pilihan moral, tapi jalan keselamatan. Bahwa amanah bukan sekadar etika birokrasi, tapi syarat keimanan. Dan bahwa melawan korupsi bukan sekadar tugas negara, tapi jihad adab yang harus dimulai dari ruang-ruang kajian, pesantren, dan hati nurani kita sendiri.