Pesantren dan Refleksi Kemerdekaan
Jejak Nurani Ustadz Agus Sutisna
Setiap bulan Agustus, kita disuguhi semarak kemerdekaan: bendera berkibar, lomba-lomba meriah, dan pidato-pidato penuh semangat. Tapi setelah itu, apakah semangatnya benar-benar hidup dalam keseharian kita? Di pesantren, kemerdekaan bukan sekadar perayaan, tapi bahan renungan. Karena di balik gegap gempita, ada pertanyaan penting: sudahkah kita benar-benar merdeka?
Kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan fisik, tapi juga dari penjajahan pikiran, akhlak, dan spiritualitas. KH. Hasyim Asy’ari, lewat Resolusi Jihad tahun 1945, menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan lahir dari iman dan keberanian. Artinya, pesantren punya peran historis dan moral dalam menjaga kemerdekaan yang hakiki.
Sayangnya, kadang kita lebih sibuk merayakan kemerdekaan daripada menghidupinya. Merdeka bukan berarti bebas semaunya, tapi bebas untuk memilih yang benar. Bung Hatta pernah bilang, “Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, tetapi alat untuk mencapai kebahagiaan dan keadilan.” Maka, tugas kita di pesantren adalah memastikan alat itu tidak berkarat.
Merdeka secara Spiritual
Di pesantren, kemerdekaan spiritual adalah fondasi utama. Santri belajar menundukkan hawa nafsu, memperkuat akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah. Ini adalah bentuk kemerdekaan yang tidak bisa dilihat oleh mata, tapi terasa dalam sikap dan perilaku. Allah berfirman, “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman…” (QS. Al-Kahfi: 29).
Namun, tantangan spiritual hari ini tidak datang dari penjajah bersenjata, tapi dari layar ponsel. Kita bebas mengakses apapun, tapi tidak selalu bebas dari pengaruh buruknya. Merdeka secara spiritual berarti mampu memilah, bukan hanya menelan mentah-mentah. Di sinilah pesantren berperan sebagai benteng nilai, bukan sekadar tempat belajar kitab.
Rasanya ironis kalau kita bicara kemerdekaan, tapi masih jadi budak ego, gengsi, dan algoritma. Di pesantren, kita diajarkan bahwa kebebasan sejati adalah tunduk kepada kebenaran. Kalau hati masih dikendalikan oleh likes dan trending topic, mungkin kita perlu belajar ulang arti merdeka.
Merdeka dalam Pendidikan
Pendidikan adalah jalan menuju kemerdekaan yang sesungguhnya. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim). Di pesantren, belajar bukan hanya soal hafalan, tapi juga pembentukan karakter dan cara berpikir yang merdeka.
Sayangnya, sistem pendidikan kita kadang masih terjebak pada angka dan formalitas. Santri yang kritis kadang dianggap “nakal”, padahal justru itulah tanda kemerdekaan berpikir. Ki Hadjar Dewantara menegaskan, “Pendidikan adalah usaha untuk memerdekakan manusia.” Maka, tugas pesantren adalah menjaga agar pendidikan tetap membebaskan, bukan membelenggu.
Kalau belajar hanya untuk ujian, bukan untuk kehidupan, maka kita belum benar-benar merdeka. Di pesantren, ilmu adalah cahaya. Tapi cahaya itu harus digunakan untuk menerangi, bukan sekadar dipamerkan. Merdeka dalam pendidikan berarti belajar dengan tujuan mulia, bukan sekadar mengejar gelar.
Merdeka dalam Kebersamaan
Kemerdekaan juga berarti hidup dalam persatuan. Di pesantren, nilai kebersamaan seperti gotong royong, musyawarah, dan saling menghormati adalah bagian dari keseharian. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…” (QS. Al-Hujurat: 10). Persaudaraan adalah bentuk kemerdekaan sosial yang paling nyata.
Namun, di luar sana, perbedaan sering jadi alasan untuk saling menjauh. Padahal Soekarno sudah bilang, “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas.” Tapi kalau jembatan itu dipenuhi prasangka dan konflik, bagaimana kita bisa sampai ke seberangnya? Di pesantren, kita belajar bahwa perbedaan adalah rahmat, bukan ancaman.
Merdeka dalam kebersamaan berarti mampu hidup berdampingan tanpa saling meniadakan. Kalau kita masih sibuk membandingkan, menyindir, dan mencurigai, maka kita belum benar-benar merdeka. Pesantren mengajarkan bahwa ukhuwah bukan slogan, tapi laku hidup. Dan itu adalah bentuk kemerdekaan yang paling membumi.
Akhir kalam, refleksi (muhasabah) kemerdekaan di pesantren bukan sekadar mengenang sejarah, tapi menata masa depan. Kita tidak hanya diajak untuk bangga sebagai bangsa merdeka, tapi juga bertanggung jawab menjaga kemerdekaan itu tetap hidup – dalam akhlak, ilmu, kebersamaan, dan dalam ekspresi cinta pada negeri.
Merdeka bukan hanya soal bendera dan lagu kebangsaan, tapi soal keberanian memilih jalan yang benar. Di pesantren, kita belajar bahwa kemerdekaan adalah amanah, bukan hadiah. Maka, mari kita jaga jiwa merdeka kita, agar Indonesia tetap menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.