Pesantren di Tengah Serbuan Budaya dan Kepentingan Politik
Jejak Nurani Ustadz Agus Sutisna
Kepemimpinan Ruhani yang Kontekstual
Kepemimpinan pesantren tidak cukup hanya mengandalkan karisma tradisional. Ia harus dibarengi dengan kemampuan membaca zaman dan menjawab tantangan dengan hikmah. Dalam konteks ini, peran kyai sebagai penjaga moral publik sangat krusial. Ia harus mampu menjadi penengah antara idealisme dan realitas, antara nilai dan strategi.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad). Maka, kepemimpinan ruhani harus menjadi cahaya yang menerangi jalan umat, bukan sekadar simbol yang dikultuskan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, dan tugas mereka bukan hanya menyampaikan ilmu, tapi juga menjaga umat dari kerusakan moral dan sosial. Dalam konteks politik, ulama harus menjadi penyeimbang, bukan alat kekuasaan. Pesantren yang dipimpin oleh kyai yang bijak akan mampu menjaga jarak dari politik praktis, namun tetap berkontribusi dalam membangun etika publik.
Santri Digital, Ruh Pesantren Tetap Menyala
Santri hari ini hidup dalam dunia yang serba cepat dan visual. Namun, kecepatan informasi tidak boleh mengalahkan kedalaman pemahaman. Pesantren harus membekali santri dengan kemampuan memilah konten, memahami konteks, dan menyampaikan pesan dengan adab. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: ayat 11–12, yang mengingatkan kita untuk menjaga lisan dan prasangka, termasuk dalam ruang digital. Literasi digital yang beretika adalah bagian dari jihad intelektual santri masa kini.
Prof. Azyumardi Azra pernah menyatakan bahwa pesantren memiliki potensi besar untuk menjadi pusat literasi digital berbasis nilai. Bukan hanya mengajarkan teknologi, tapi juga membentuk karakter santri agar mampu menjadi produsen konten yang mencerahkan. Dengan begitu, pesantren tidak hanya bertahan di era digital, tapi menjadi pelopor transformasi sosial berbasis nilai.
Pesantren sebagai Ruang Dialog dan Transformasi
Pesantren harus menjadi ruang yang terbuka bagi dialog lintas pemikiran, tanpa kehilangan identitas. Ketika pesantren mampu merangkul isu-isu kontemporer seperti keadilan sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia, maka ia menjadi relevan dan transformatif.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Agama adalah nasihat” (HR. Muslim), dan nasihat itu harus disampaikan dengan hikmah, dalam ruang yang memungkinkan pertukaran gagasan secara sehat.
Sahal Mahfudz menekankan pentingnya fikih sosial sebagai pendekatan pesantren terhadap realitas. Pesantren tidak boleh hanya berkutat pada teks, tapi harus mampu menafsirkan konteks. Ketika pesantren menjadi ruang dialog yang inklusif, maka ia akan melahirkan generasi yang tidak hanya paham agama, tapi juga mampu menjadi agen perubahan sosial.
Akhir Kalam
Menjaga ruh pesantren berarti menjaga nurani bangsa. Di tengah serbuan budaya dan kepentingan politik, pesantren harus tetap menjadi mercusuar yang menuntun umat menuju kemuliaan. Firman Allah dalam QS. An-Nur ayat 35 menyebutkan bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi, dan cahaya itu harus dijaga agar tidak redup oleh gemerlap dunia. Pesantren adalah penjaga cahaya itu melalui ilmu, akhlak, dan keteladanan.
Sebagaimana dikatakan oleh Buya Syafii Maarif, “Pesantren adalah benteng terakhir moral bangsa.” Maka, tugas kita bukan hanya mempertahankan pesantren, tapi menghidupkannya sebagai ruang pembebasan, ruang pembentukan karakter, dan ruang penyemaian peradaban. Mari kita jaga, rawat, dan kembangkan pesantren sebagai rumah nurani yang tak lekang oleh zaman.